Wanita Pengejar Kereta

Senja menyapu langit menjadi merah saga. Langkah Sri terhenti sejenak di tengah gerbong kereta api paling belakang. Ia menatap sawah hijau yang terbentang luas di balik jendela kereta ekonomi yang buram, matahari mulai merayap turun, kelam malam perlahan merambat menggantikan warna merah menjadi hitam. Kombinasi warna merah hitam di kala senja selalu berhasil menambat kaki Sri untuk melihat keluar. Ia seolah tak mempedulikan orang yang lalu lalang di sampingnya, yang terkadang mendesaknya kesamping kiri atau kanan. Senja hari, adalah menit-menit khusus bagi Sri untuk sejenak melepas benaknya dari realita.

“Mbak, mbak. Kopinya satu !” Teriakan seorang laki-laki membuyarkan lamunan Sri. Ia bergegas menuju laki-laki yang memanggilnya, menurunkan barang-barang dagangan, dan dengan cekatan menyajikan kopi di sebuah gelas plastik. Asap kopi mengepul mengeluarkan aroma sedap yang khas. Sri memberikan gelas itu sambil tersenyum.

“Ini Pak, kaleh ewu .”

“Oalah, ayu tenan mbak’e.” Laki-laki pembeli kopi malah menggoda Sri. Paras Sri memang cantik meski usianya tak lagi hijau. Ia bahkan sudah memiliki dua anak. Kerutan dan berbagai gores kehidupan di wajahnya tetap menyisakan kecantikan yang tak bisa disembunyikan.

“Nuwun sewu, kaleh ewu Pak.” Sri bergeming, senyum hilang dari wajahnya. Ia langsung memasang wajah sedingin baja. Sri paling tidak suka menerima perlakuan seperti ini, meski ia tahu, resiko pedagang asongan wanita kereta seperti dirinya adalah digoda laki-laki genit. Ia dan teman- teman pedagang wanita lainnya sudah sering mengalami hal seperti ini. Tapi Sri tidak bisa melihat pilihan dalam hidupnya, kesempatan untuk pekerjaan lain rasanya mustahil. Dengan uang tabungan yang sebentar lagi akan habis untuk biaya sekolah anak-anak, ia bahkan tak berani sekedar memikirkan mencari pekerjaan yang lebih layak. Mencari pekerjaan berarti menunda rejeki , itulah rumus yang diyakini Sri.

“Eh, mutung. Ayu ayu kok cugetan . Ini uangnya.” Laki-laki itu menangkap jelas perubahan raut wajah Sri dan segera membayar dengan kasar. Sri mengucapkan terimakasih sekenanya dan bergegas pergi. Penumpang lain yang sekursi dengan laki-laki itu hanya memperhatikan dalam diam.

Sri segera menjajakan dagangannya, ia kembali berteriak dengan irama yang klise, berulang dan berulang sepanjang langkah kakinya. Sesekali pendengaran Sri menangkap penumpang yang menirukan gaya teriakannya sambil terkikik. Apa yang lucu ? Pikir Sri kesal, mereka sama sekali tak tahu lelahnya berteriak seperti ini ! Lelah yang terakumulasi, membuat Sri makin sensitif. Cairan terasa menggenang di pelupuk mata, kabur. Sri mengusap matanya dengan cepat dan meninggalkan gerbong sambil tetap berteriak.

“Kopi, kopi, kopi anget… Pop Mie, Energen, anget…” Suara Sri yang mulai parau tertelan suara gemuruh kereta dan suara penjual asongan lain.
***

“Mak, aku mau mobil-mobilan kayak punya Sapto !” Slamet, anak kedua Sri menjerit histeris ketika mereka melewati toko mainan. Sri tersentak kaget mendengar teriakan anaknya. Tak biasanya Slamet minta barang yang aneh-aneh.

“Le, emak lagi ndak punya uang. Kan kemarin sudah buat beli buku sama kaos olahraga. Mbakyumu juga lagi butuh uang buat buku juga.” Sri buru-buru menyeret Slamet pergi menjauh dari toko mainan.

“Pokoknya mau mobil-mobilan. Emaak… Huhu.” Sapto mulai menangis meraung-raung. Badannya yang kecil berusaha menahan seretan tangan emaknya. Sri agak kebingungan melihat tingkah Slamet. Akhirnya ia menggendong paksa Slamet.

Langkah Sri sepanjang perjalanan dari pasar tertatih karena belanjaan yang dibawanya dan Slamet digendongannya. Hari itu ia harus belanja kebutuhan jualan lebih banyak, musim liburan tiba, pasti kereta api ekonomi makin berjubel penumpang. Dan itu berarti berkah bagi pedagang asongan seperti Sri. Lalu lalang becak dan sepeda motor menemani Sri. Sesekali angkot berwarna colat lewat sambil mengepulkan asap hitam yang membuat Sri dan Slamet terbatuk-batuk. Slamet masih merengek di gendongan Sri. Sri berusaha menulikan telinga, ibu mana yang tak teriris hatinya jika tidak bisa memenuhi kebutuhan anaknya.

“Emak sudah datang.” Dengan sigap Ian, anak pertama Sri, membantu ibunya membawa belanjaan. “Ian sudah masak sayur bayam Mak, bayam belakang rumah makin subur saja.” Ian mengeluarkan barang belanjaan Sri dan menatanya di meja.

“Kamu sudah makan?” Sri bertanya dengan lembut. Ian sekarang masih kelas satu SMP, tapi perkataan dan tingkah lakunya jauh melampaui usianya.

“Aku menunggu emak dan Slamet pulang. Ndak enak makan sendirian.”

“Oh, ya sudah. Sekarang kita makan dulu. Slamet, ayo makan. Masakan mbakyumu ni. Pasti enak.” Rengekan Slamet terhenti dengan ritual makan bersama. Mereka bertiga makan di meja, yang merupakan meja satu-satunya di rumah itu, di antara tumpukan barang-barang dagangan Sri. Suara sendok dan piring beradu berdenting memenuhi rumah sederhana keluarga Sri yang sebagian besar dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Setelah semua selesai makan, Sri merapikan perabot makan dan menuju dapur, ia melakukan dengan cepat agar pekerjaan itu tidak iambil oleh Ian. Sri terkadang tak tega melihat anaknya yang satu itu, tiap hari bergulat dengan pekerjaan rumah, apalagi ketika Sri berjualan di kereta dari siang sampai malam. Tiap pulang sekolah Ian pasti akan disibukkan dengan setumpuk pekerjaan dan juga mengasuh Slamet. Meski tak pernah mengeluh, Sri tetap saja sering merasa bersalah. “Sudah Yan, emak saja yang mencuci piring. Itu di kresek hitam ada klepon. Makan sama Slamet gih.”

“Terimakasih Mak.” Binar mata Ian terpancar, sedangkan Slamet langsung mencari jajanan pasar kesukaannya ketika Sri menyebutkan ia boleh makan bersama kakaknya.

“Asiik. Klepon !!” Slamet melahap bola-bola hijau bertabur kelapa dengan rakus. Ian melihat tingkah polah adiknya sambil geleng-geleng kepala. Ia menggigit klepon sedikit demi sedikit, gula aren di tengah kelepon meluber keluar, lelehan itu segera disesap oleh Ian.

“Mbak, kenapa sih ibu jadi tukang asongan?” Slamet tiba-tiba melontarkan pertanyaan di tengah keasyikannya. Ian tersentak dengan pertanyaan itu, mengapa Slamet ingin tahu.

“Kan biar kita bisa sekolah, makan tiap hari, dan makan klepon kesukaanmu.” Ian berusaha menjawab.

“Beli mainan ndak termasuk ya?” Slamet cemberut, ingat mobil-mobilan yang tak bisa terbeli.

“Eh? Kalau ada rejeki lebih ya dibelikan Met. Kenapa Tanya-tanya begitu?”

“Slamet malu Mbak, si Sugeng sama temen-temennya suka ngejek. Slamet anak tukang asongan gak bisa beli mobil-mobilan. Ya sudah, Sugeng tak pukul aja kemarin.” Ekspresi Slamet langsung muram, klepon di hadapannya sudah habis, menyisakan sisa gula dan kelapa di sekitar mulutnya yang tertekuk. Ingatan Ian langsung melompat, baju Slamet memang sangat kotor kemarin, ternyata ia bergulat dengan temannya.

“Walah Slamet, begitu aja kok malu. Meskipun emak jadi pedagang asongan, ngejar-ngejar kereta, tapi itu halal. Daripada emak mencuri. Hayoo.. Lagian kalau emak ndak ngasong, memang kamu bisa makan klepon? Apapun pekerjaan emak, emak adalah bidadari yang selalu menjaga kita Slamet.” Ian mencubit pipi Slamet yang gembil.

“Tapi tetep aja mbak. Slamet kan malu tiap hari diejek. Teman-teman sekelas juga mulai ikut-ikutan Sugeng.” Hati Ian berdesir, ia juga pernah diejek seperti Slamet. Bahkan ketika ayahnya minggat, Ian menjadi bahan ejekan paling empuk di antara teman-temannya. Memang seiring berjalannya waktu, para pengejek itu pasti lelah, tapi melewati hari-hari berat penuh tekanan memang tak mudah, apalagi bagi Slamet yang masih sangat kecil.

Sementara itu, Sri sedang mengusap air matanya dengan jilbab yang masih dipakai dari pasar tadi. Ia tak sengaja mendengar percakapan kedua anaknya. Hatinya bagai diaduk-aduk, ia memegangi dadanya yang mendadak terasa sangat sakit. Perasaan bersalah merayapi seluruh tubuhnya. Karena dirinya Slamet menjadi bahan ejekan temannya. Karena dirinya tak becus mencari pekerjaan lain Slamet tidak bisa beli mobil-mobilan. Karena dirinya anak-anaknya harus hidup dalam kehidupan yang sulit. Isakan Sri tertahan, teredam gemericik air sumur yang ia tuang ke ember.
***

“Tak lelo..lelo ledung… Ndang bobo anakku sing ayu. Besok gedhe dadio wanita utama. Banggakne wong tuwa ..” Sayup-sayup senandung Sri terdengar di balik bilik kamar. Ia sedang membelai Ian dengan sepenuh hati dan menyenyikan tembang yang biasa dinyanyikan ibunya ketika Sri masih kecil. Slamet telah tidur sejak tadi, mendengkur dengan keras di samping Ian.

“Hoaahm.. Mak, aku sangat suka nyanyian emak yang satu ini.” Setengah tersadar Ian bergumam pada Sri. “Aku selalu merasa didoakan sepenuh hati ketika Emak menyanyikan tembang ini. Esok, ketika aku sudah besar, aku harus jadi wanita utama, wanita yang bisa membanggakan Emak.”

“Iya Nduk, sekolah yang pintar, biar ndak jadi pedagang asongan kayak Emak. Nanti kalau sudah jadi orang, jangan lupa sama orang-orang susah. Jadi orang yang pemurah, nolong orang lain, meski kamu lagi butuh. Siapa tahu Allah bukakan pintu rejeki dari amal amal itu.” Air mata menggenang kembali di mata Sri. Ia sungguh-sungguh berharap anaknya dapat sukses kelak. Doa ini pula yang tak pernah luput dari shalatnya.

“Nggih Mak.” Ian terbuai dengan belaian dan nyanyian emaknya. Ia terlelap sambil tersenyum. Meski menjalani hidup seadanya, Ian bersyukur sangat memiliki emak yang selalu mendoakan dan menasihatinya. Ia merasa belaian emaknya bagaikan belaian bidadari yang menguatkan hatinya.
***

Pengap, panas, gerah. Suasana kereta api ekonomi siang itu bagaikan oven raksasa yang berisikan makhluk hidup, mulai manusia sampai hewan macam ayam. Berbagai macam bau menyeruak bersamaan, bercampur, menimbulkan harmoni yang memuakkan. Kolong kereta juga tak ketinggalan, banyak barang, banyak orang juga. Sri hanya menghela nafas setelah berhasil masuk gerbong kereta dengan susah payah. Ia mulai berjalan berjingkat-jingkat menghindari penumpang yang ada di tengah jalan atau jika ada pedagang asongan lain dari arah berlawanan. Hari itu ia membawa es untuk dijual, mumpung ramai, panas pula.

“Es manis, es manis, cuma seribu rupiah. Seger buat panas-panas begini.” Sri kembali berteriak penuh semangat menjajakan dagangannya. Hari itu dagangannya lumayan laku meski tak juga terlalu banyak. Di gerbong paling depan, Sri sejenak duduk jongkok sebelum keluar kereta api untuk turun di stasiun Pekalongan. Ia menoleh ke samping dan melihat seorang anak lelaki berkaos kumal dan membawa setumpuk Koran bekas, hmm ia mungkin lebih tua sedikit dari Ian, pikir Sri.

“Laku banyak Le hari ini?” Sri memulai percakapan. Anak itu hanya menggeleng lemah. Wajahnya kuyu dan terlihat begitu lelah. Kulit legam dan rambut jagungnya menambah kesan menyedihkan.

“Sudah makan siang?” Anak itu kembali menggeleng lemah.

“Ndak ada duit Buk. Dari pagi saya belum makan. Makannya sekarang lemes banget, rasanya saya sudah ndak kuat berdiri ini.” Suara lirih anak lelaki di sampingnya begitu lirih. Sri harus mendekatkan kepalanya untuk dapat mendengar ucapan anak itu.

“Wah wah, gimana kamu ini, jualan kan butuh tenaga. Ini minum es dulu, gratis.” Sri menyodorkan seplastik es jeruk, warnanya kuning menggoda dan butiran air embun di plastiknya menyejukkan pandangan. Anak itu menerima dengan tangan gemetar. Sri kemudian membelikan Megono, irisan nangka muda dengan bumbu sambal kelapa. Rasanya gurih dan pedas, biasanya dibungkus daun pisang untuk menambah kesedapan aroma.

“Ini Le, makan dulu biar kuat jualan lagi.”

“Ya Allah, terimakasih Buk. Maturnuwun sanget .” Mata anak itu berkaca-kaca. Pertolongan sederhana bahkan bisa membuat anak penjual koran bekas ini begitu berterimakasih, pikir Sri. Sri hanya tersenyum dan beranjak bangkit. Kereta telah berhenti, saatnya ia harus turun dan segera pulang.
Desakan orang yang akan turun membuat Sri sesak napas, ia mati-matian menjaga keseimbangan, Sri mendekap erat barang-barang dagangan yang masih tersisa. Setelah berhasil keluar, ia berjalan dengan cepat. Mobil-mobilan yang diinginkan Slamet terngiang-ngiang di benaknya. Sri ingin membelikan mainan itu untuk Slamet.
Di tengah kerumunan padatnya orang, Sri mendengar suara bass laki-laki yang menyiratkan kebencian. Mula-mula samar-samar, tapi makin lama makin jelas.

“Heh, kamu istrinya Joko kan?” Telinga Sri bagai disengat listrik, sudah bertahun-tahun ia tidak mendengar nama itu disebut, nama suaminya yang telah meninggalkan Sri ketika ia melahirkan Slamet. Hatinya pedih bila mengingat Joko.

“Heh, ditanya kok malah diam. Jawab !” Sri baru tersadar, sekelompok laki-laki bertato dan berambut gondrong menghadang jalannya. Tiba-tiba mereka mendorong Sri ke pojok stasiun yang sepi. Sri yang tak siap melakukan perlawanan hanya bisa meronta-ronta tanpa arti, sekelompok laki-laki itu melakukan aksinya dengan sangat cepat. Orang-orang di sekitar Sri hanya melihat sebentar dan langsung memalingkan muka. Entah tak peduli, atau takut dengan gaya gerombolan laki-laki bertampang sangar itu.

“Joko berhutang banyak pada kita. Si brengsek itu dulu kalah judi dan malah kabur. Kita sudah mencari-cari ia sejak lama.” Salah seorang laki-laki yang berwajah paling sangar menatap Sri lekat-lekat, sementara teman-temannya mengunci gerakan Sri. Barang dagangan Sri sudah berhamburan di lantai.

“Lalu apa hubungannya dengan saya? Ia juga meninggalkan keluarganya sejak bertahun-tahun yang lalu juga. Saya sudah ndak ada lagi hubungan dengan mas Joko.” Sri menjerit.

“Tapi, beberapa waktu lalu, anak buahku tak sengaja menemukan Joko, ia jadi gembel di Jakarta sekarang…” Sri terkejut mendengar ucapan laki-laki sangar itu. “Dan ia menyuruh kami mencari KAMU, istrinya, buat bayar uatng-utangnya.” Sri makin terkejut sekarang. Tega sekali mas Joko, batinnya.

“Mas Joko ndak mengatakan apa-apa padaku, bahkan ketika ia minggat, ia ndak memberiku sepeser pun. Kalian tidak bisa menyuruhku membayar utang mas Joko.” Sri histeris ketika laki-laki itu mulai menggeledah barang-barangnya dan merampas hasil jualan seharian. Sri tidak bisa membayangkan hidupnya esok jika uang itu iambil, darimana ia mendapat modal untuk jualan besok. Utangnya juga sudah menumpuk dimana-mana.

“Ini, kami ambil. Anggap urusan kita sudah berakhir, meskipun uang ini belum cukup membayar seluruh utang Joko. Itu salahmu sendiri, cari suami saja tak becus, mau-maunya menikah dengan orang pengecut seperti Joko ! Haha..” Laki-laki paling sangar memberi kode pada anak buahnya untuk melepas Sri. Mereka langsung lari berkelebat secepat kilat. Meninggalkan Sri dengan dagangan berantakan, hati yang hancur, serta tak ada uang sama sekali.

Sri kembali memegangi dadanya yang mendadak begitu nyeri. Luka lama yang dulu berusaha ditutupnya, kini sobek kembali dan berasa ditaburi garam. Ia menatap dagangannya dengan nanar. Bayangan mobil-mobilan untuk Slamet buyar di benaknya. Sri menguatkan dirinya dan berusaha merapikan dagangan yang masih bisa diselamatkan. Terngiang-ngiang perkataan pak Haji Abdullah ketika Sri kecil rajin ikut TPA, sesungguhnya setelah kesulitan pasti ada kemudahan, setelah kesulitan ada kemudahan.
***

Senja merah kembali menambat perhatian Sri, ia termangu di kursi kereta api, masih kereta ekonomi, tapi kini ia adalah penumpang, bukan lagi pengejar kereta seperti dulu. Di sampingnya terlihat Ian dan Slamet yang terlelap. Semilir angin sore yang sejuk menerpa wajah Sri, Sri memejamkan mata. Bayangan episode masa lalu terbawa kembali ke alam sadarnya.

“Ibuk. Ibuk yang memberi makan saya di kereta kan?” Seorang anak laki-laki yang tampak familiar bagi Sri menegurnya ketika ia duduk di samping trotoar. Sejak kejaian perampokan di stasiun, Sri beralih profesi menjadi penyapu jalanan. Hidupnya dan keluarga semakin berat selama beberapa tahun ini. Penyapu jalanan bukanlah pekerjaan yang lebih baik dari pedagang asongan. Apalagi dengan resiko tertabrak kendaraan bemotor.

“Eh, siapa ya?” Sri berusaha mencari sosok anak itu di ingatannya. Dan ia berhasil menemukan memori episodik tentang anak itu. “Loh, kamu penjual koran bekas kan?” Sri terheran-heran, kini anak itu tampak gagah dengan baju batiknya yang rapi. Badannya makin berisi dan terlihat sangat terurus. Sangat kontras dengan penampilannya ketika di kereta.

“Iya Buk, Alhamdulillah saya dapat rejeki dari Allah. Ada LSM yang mengajak anak-anak jalanan seperti saya. Mereka memberi berbagai ketrampilan sekaligus modal awal. Sekarang usaha saya sudah mandiri dan berkembang. Tapi tanpa Ibuk, saya pasti sudah putus asa ketika di kereta dulu. Haha, saya sempat berpikir terjun dari kereta biar modar sekalian Buk.” Anak laki-laki itu tergelak dan ikut duduk di samping Sri.

“Oooh, Allah memang Maha Kaya Le. Syukurlah kalau kamu sekarang sudah berhasil. Ibuk sekarang ya begini ini, malah jadi tukang sapu.” Sri mentertawakan dirinya sendiri.

“Sudah Buk, sekarang ikut saya saja. Kebetulan saya lagi butuh pegawai buat menjahit. Ibuk bisa menjahit kan? Setelah ini saya antar ke tempat usaha saya.”

“Ee, bisa sih sedikit-sedikit.” Sri tergagap, apa ini berkah dari Allah. Jawaban dari untaian doa-doanya sepanjang malam.

“Mari Buk.” Bayangan anak laki-laki yang akhirnya memboncengnya dan menjadikan hidupnya lebih baik perlahan memudar. Tergantikan kembali dengan pemandangan hijau kemerahan di luar jendela kereta. Matahari memerah seperti darah, besar bulat tanpa ada penghalang. Sri bersenandung lembut, “Tak lelo..lelo ledung… Ndang bobo anakku sing ayu. Besok gedhe dadio wanita utama. Banggakne wong tuwa..”

Harga Sejati Kilau Batu Hijau

Hamparan ilalang hijau keemasan terbentang bagai permadani. Angin lembut menerbangkan bunga rumput dan membelai rambut Piah yang tengah duduk di atas pohon. Sinar hangat matahari mengenai kulitnya yang coklat madu. Ia menikmati simfoni alam yang menyatu di hadapannya, Piah memejamkan mata dan menghirup udara kuat-kuat.

“Hmm, wanginya bunga rumput ini.” Piah terlena dalam ekstase bersama alam.

“Hai Piah ! Turunlah ! Ayo berangkat sekolah.” Piah menghentikan kesyahduannya dan melongok ke bawah. Ia hanya nyengir melihat Omi yang berteriak sambil melompat-lompat.

“Omii, ayo naik ke atas. Kamu akan menyaksikan kerajaan alam Sumbawa yang sungguh elok.” Piah malah menanggapi teriakan Omi dengan bersajak.

“Halaah, kamu ini. Kerajaan apanya? Kita sudah hampir terlambat ini.” Omi makin kesal karena Piah menyuruhnya naik ke atas pohon. Ia sangat sadar satu hal, bahwa dirinya tidak bisa memanjat pohon.

“Haha, Omii. Kamu ini laki-laki tapi tidak bisa memanjat pohon. Laki-laki macam apa itu.” Piah malah memanas-manasi Omi. Piah tahu kelemahan sahabat karibnya itu.

“Huh, memang apa salahnya kalau anak laki-laki tak bisa panjat pohon ? Tidak ada adat yang mengharuskan laki-laki bisa panjat pohon hei Piah.” Omi melengos dan beranjak meningalkan Piah. “Aku berangkat sekarang. Terserah kamu, mau ikut atau tidak.”

Piah serta merta langsung menuruni pohon dengan cekatan. Ia menyingsingkan rok merah kusamnya. Dan menghampiri Omi dengan senyum lebar nan usil. “Kamu marah Omi? Aduh. Maaf deh, Omi kan pandai ya. Kenapa juga harus bias panjat pohon segala?”

“Baguslah kalau kamu mengerti.” Omi langsung merangkul Piah akrab. Mereka menyusuri padang ilalang, kedua anak itu terlihat seperti titik putih di antara karpet hijau keemasan. Langkah lari kecil Piah dan Omi saling bersusulan menuju sekolah.

@@@

 

“Kak, batu hijau ternyata benar-benar ada !” Piah kecil menunggui kakaknya yang sedang asyik menyulam. Keluarga Piah hidup dari hasil sulaman kakaknya, mereka memang yatim piatu. Kedua orang tuanya meninggal ketika mencari kayu bakar di hutan. Kata orang desa, orang tua Piah diambil penunggu hutan. Tapi siapa yang tahu, yang jelas sampai saat ini orang tuanya tak pernah kembali lagi.

“Eh? Batu hijau katamu? Itu hanya legenda Piah.” Marti, kakak Piah, hanya melihatnya sekilas kemudian melanjutkan sulamannya.

“Iih, kakaak. Batu hijau itu benar-benar ada kak. Lalu Arif pernah melihat batu hijau di hutan. Dan ada sesuatu yang bersinar di batu hijau itu. Hebat kan !” Piah menceritakan kembali apa yang didengarnya dari orang-orang desa. Matanya yang bening berkilat-kilat senang.

“Piah piah, percaya saja kamu sama Lalu Arif pengkhayal. Dia kan memang suka mengarang cerita aneh agar bisa jadi pusat perhatian.” Marti menanggapi celotehan Piah dengan dingin.

“Tapi semua orang desa membicarakan batu hijau yang dilihat Lalu Arif.” Piah mencoba membela diri.

“Kalau batu hijau benar-benar ada, mengapa Lalu Arif tak membawanya ke desa?” Tangan lincah Marti tetap asyik dengan sulamannya, ia hanya menggelengkan kepalanya sejenak.

“Aa, kata Lalu Arif, karena batu hijau itu batu keramat. Makannya ia tak berani membawanya.”

“Alaaah, omong kosong. Bualan Lalu Arif saja itu. Dia itu anak pemuka desa, tapi kok suka berbohong.” Marti menghentikan sulamannya sejenak dani berbicara dengan dirinya sendiri. Ia menghela napas dan melanjutkan kembali pekerjaannya. Piah hanya cemberut sambil melihat kakaknya yang tetap asyik.

“Huh, sudahlah. Yang penting aku percaya, batu hijau itu benar-benar ada ! Dan suatu saat aku akan membawakannya untuk kakak. Lihat saja nanti. Kita bakal jadi orang kaya jika memiliki batu itu.” Piah tetap tidak kehilangan semangat. Ia berujar berapi-api. Sementara Marti hanya tertawa kecil, meremehkan.

@@@

 

“Hah, Omi. Kau ini hati-hati dong. Tak lihat ada batu besar apa?” Piah memukul-mukul punggung Omi yang memboncengnya naik sepeda. Kemarin Omi dibelikan sepeda baru oleh ayahnya yang baru pulang merantau. Omi hanya mengangkat tangannya, tanda semuanya beres. Dari kecil kebiasaan Omi tidak berubah, batin Piah. Ingatannya teringat ketika Omi SD memaksakan dirinya memanjat pohon menyusul Piah. Ia terjatuh sebelum sampai ke dahan, cukup tinggi untuk ukuran anak-anak. Piah menjerit dan melompat ke bawah menolong Omi, tapi Omi menghindarinya dan mengangkat tangan kanan. Ia langsung menampakkan senyum jenakanya dan berkata semua beres, tak apa-apa. Kini mereka beranjak remaja, sudah menngunakan seragam biru tua.

“Maaf Piah, aku masih belum mahir mengendarai sepeda ini. Tinggi sekali sadelnya. Haha.” Omi terus melaju sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal.

“Yah.. Maklum lah, kamu memang pendek Mi.” Piah meledek Omi. Yang diledek hanya tertawa dan mengiyakan. Tak sengaja tatapan Piah terpaku pada bahu bidang Omi. Aah, kenapa bahu itu sungguh berbeda dari Omi yang dulu. Piah langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat setelah melamun cukup lama.

“Piah, jangan goyang-goyang. Bisa-bisa aku jatuh !”

“Oh ya. Ah. Omi, Setelah lulus SMP kamu mau kemana?” Piah kelabakan dengan pikirannya sendiri dan melontarkan pertanyaan asal-asalan. Ia bersyukur Omi tidak melihat mukanya saat itu, pasti muka Piah bagai kepiting rebus, merah tak karuan.

“Tumben kamu menanyakan hal seperti itu? Aku kira pikiranmu hanya dipenuhi bagaimana cara menemukan batu hijau.” Omi tergelak sampai sepeda yang dikendarainya oleng.

“Memang kenapa kalau pikiranku hanya dipenuhi batu hijau ?!” Piah sedikit berteriak melawan deru angin yang kencang.

“Oh, tidak apa-apa kawan, peliharalah terus imajinasimu itu.” Piah ingin memprotes kata-kata imajinasi dari Omi, tapi sebelum sempat dia bersuara, Omi sudah menyahut lagi. “Aku ingin bersekolah terus. Mencari ilmu sebanyaak-banyaknya. Aku haus Piah, haus akan hal-hal baru, haus akan hukum fisika yang fenomenanya tersebar di muka bumi ini, haus ingin tahu vegetasi alam Sumbawa, Samawa yang Tuhan anugerahkan pada kita. Aku ingin memenuhi dahaga itu. Dan…” Omi tak meneruskan kalimatnya.

“Dan.. apa Omi?” Piah penasaran, ia sudah lupa akan kalimat protes yang hendak dilontarkannya pada Omi.

“Dan.. Yang terakhir tak akan kuberitahu padamu. Rahasia ! Nampaknya aku telah berbicara terlalu banyak.”

“Omii, kita sudah bersahabat bertahun-tahun, kamu masih main-main rahasia denganku.” Piah cemberut sekarang. Sedangkan Omi hanya tersenyum, misterius.

“Eh, ngomong-ngomong. Bukannya sekolah sampai SMP seperti kita ini sudah merupakan hal luar biasa Omi? Aku sih sudah sangat bersyukur, kakak bekerja habis-habisan untuk menyekolahkanku sampai SMP. Aku juga sudah capek sekolah, pikiranku sudah penuh rasanya. Memang kamu mau melanjutkan sekolah dimana? Di kota bahkan belum ada SMA.” Piah tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

“Yaah, dimana ada SMA, disitulah aku akan pergi sahabatku Piah. Bahkan meski harus keluar pulau.” Entah mengapa, tiba-tiba terasa ada lubang besar di hati Piah, bila membayangkan Omi akan pergi jauh. “Bagaimana denganmu Pi?”

“Aku? Tentu saja aku akan membantu kakak menyulam dan melanjutkan ekspedisi batu hijau ke dalam hutan Taliwang. Konyol ya?” Piah menertawakan obsesinya sendiri.

“Tidak sama sekali. Itu tidak konyol. Bahkan aku pun percaya bahwa batu hijau itu memang benar ada, dan benda itu memang memancarkan sinar kuning.” Omi berkata dengan yakin. Suaranya menyatu dengan friksi udara di sekitar sepeda dan masuk ke telinga Piah sebagai lecutan semangat untuk benar-benar menemukan batu hijau idamannya. Walaupun Piah agak bingung dengan kalimat terakhir yang diucapkan Pmi, tapi dia hanya diam dan larut dalam pikirannya sendiri.

@@@

 

“Oh my Lord ! Thank you very much. You’re very kind.” Suara berat dari bule bermata hijau dan berambut coklat memenuhi ruangan.

“Eh, umm. Anda bisa berbahasa Indonesia Pak?” Kepala desa Nampak bingung mendengar ucapan terimakasih si bule saat ia menghidangkan teh dan makan siang lengkap. Bau ayam taliwang yang berlumuran bumbu menyebar harum, menggelitik perut siapa saja yang berada di situ.

“Yes, tentu saja saya bisa. Saya sudah belajar bahasa Indonesia sejak dua tahun yang lalu. Dan.. panggil saja saya Edward. OK?” Edward langsung mencicipi ayam taliwang yang berada di depannya. Wajahnya nampak berseri saat bumbu menyentuh lidahnya.

“OK pak Edward. Kalau boleh saya tahu, mengapa Anda jauh-jauh mengunjungi pulau Sumbawa? Memang ada yang istimewa dari pulau kecil semacam ini?”

“Huss…” Edward mengangkat jari telunjuk dan mengatupkannya pada mulut. “Bagaimana bisa Bapak Kades menanyakan apa istimewanya pulau ini? Ckck… Sumbawa adalah surge dunia Pak. Di sini Tuhan menitipkan suatu kemuliaan yang sangat berharga. Lagipula makanannya juga enak. Haha.” Edward terus memuji-muji Sumbawa, seakan-akan di pulau itu dilimpahi berkah ratna mutu manikam. Kepala desa mendengarkan dengan wajah serius, namun sebenarnya dia tak mengerti apa yang Edward maksud. Menurutnya Sumbawa hanyalah pulau kecil dengan alam elok, tapi terasing dari gemerlapanya kemewahan dunia.

“Excuse me pak Kades. Apa anda pernah mendengar ada batu hijau di sini?”

“Eh? Batu hijau ? Itu hanya dongeng pengantar tidur Pak.” Kepala desa memandang Edward dengan heran.

“Begitukah? Hmm, terimakasih atas jamuannya. Saya ingin berjalan-jalan, boleh?” Edward mengelap mulut dan tangannya dengan tisu.

“Tentu saja boleh, sebentar, saya panggilkan anak buah saya untuk menemani Anda.” Tawaran Kepala Desa langsung dijawab gelengan oleh Edward. Ia tersenyum sambil sedikit membungkuk, kemudian pergi begitu saja.

“Waah, dasar bule. Aneh-aneh saja tingkah lakunya.” Kepala desa bergumam.

Di luar, Edward melangkahkan kakinya ke arah hutan. Ia telah mempelajari geografi dan lansekap daerah itu dari peta. Rambut coklatnya bergerak-gerak terpapar angin yang cukup kencang di musim kemarau. Angin kemarau yang kering dan dan membawa debu membuat bibirnya kering dan retak di sana- sini, meski begitu,  senyum simpul tak pernah pudar dari bibirnya.

“Inikah hutan Taliwang ? Sungguh masih perawan.” Edward memasuki hutan dengan hati-hati. Pohon-pohon bidara serta pohon asem yang menjulang tinggi memenuhi hutan, menaunginya dari terik matahari bulan Juli. Edward semakin ke dalam. Ia melihat seorang wanita muda sedang mencari sesuatu. Aha, siapa lagi kalau bukan Piah.

“Miss, what are you doing here?” Edward spontan berteriak dan bertanya pada Piah. Ia sedikit tak percaya dengan pemandangan yang dilihatnya.

Begitu juga dengan Piah, raut kaget dan penuh tanda Tanya langsung memancar dari wajah Piah. Ia meletakkan sekop kecil dan membersihkan tangannya dari tanah.

“Find the green stone mister.” Piah mencoba mempraktekkan bahasa Inggris yang ia peroleh dari sekolah. “Kenapa ada bule di sini ya?” Piah berbicara dengan dirinya sendiri, ia mengira Edward tak bisa berbahasa Indonesia.

“Hahaha, saya sedang survey miss. Dan.. katamu tadi, green stone? Batu hijau bukan?” Edward sangat antusias mendengar jawaban Piah.

“Aa. Anda bisa bahasa Indonesia”

“Of course, tentu saja. Oh ya Miss, tolong ceritakan tentang batu hijau yang kamu cari. Please..”

“OK Mister, dengan senang hati ! Batu hijau adalah legenda terkenal di desa ini Mister. Tapi saya percaya itu bukan hanya legenda. Batu hijau dipercaya dapat mengeluarkan sinar kuning dan mendatangkan kemakmuran. Kalimat terakhir saya peroleh dari seorang teman. Sebenarnya saya juga tidak mengerti, mengapa dia menyebutkan bahwa batu hijau bisa memancarkan sinar kuning.” Piah sangat senang ada orang yang tertarik pada batu hijau, apalagi dia seorang bule, yang baru pertama kali Piah jumpai langsung.

“Amazing ! lanjutkan Miss…”

“Ketika saya SD, ada tetangga yang mengaku menemukan batu hijau di hutan Taliwang ini. Tapi tak ada seorang pun yang percaya padanya. Karena memang ia tak membawanya ke desa. Batu hijau adalah batu yang dianggap keramat, mungkin ia takut kena malapetaka bila membawa batu itu pergi dari tempat asalnya.” Piah bercerita dengan semangat.

“Waah, dan Miss sedang mencari batu itu sekarang. Di sini?”

“Yaah, impian saya memang menemukan batu hijau dan membawanya ke hadapan kakak saya serta penduduk desa. Mister juga sedang mencari batu hijau?” Piah makin antusias.

“Bisa dibilang begitu Miss …”

“Piah” Sahut Piah cepat.

“Edward, Edward Miller. Oh ya… di sekitar sini ada gunung api yang sudah tidak aktif bukan? Bisakah Miss mengantarkan kesana?” Piah memandang Edward penuh tanda Tanya.

“Memang ada Mister. Mengapa Anda ingin kesana? Tempat itu tak pernah dikunjungi orang. Lagipula tak ada hal yang menarik di sana. Sungguh, benar-benar tempat yang membosankan !”

“No problem Miss. Saya ingin memastikan sesuatu.” Edward tersenyum kembali. Ia kembali melihat peta yang dibawanya.

“OK, mari ! Tapi setelah mengantar Mister, saya langsung pamit. Ada yang harus saya lakukan. Pekerjaan di rumah menggunung bila sedang libur sekolah.”

“Miss kelas berapa?” Edward berusaha akrab dengan Piah.

“Saya sudah lulus SMP, tinggal menunggu ijazah.”

“Bagus bagus. Mungkin suatu saat Miss bisa bekerja di perusahaan kami.” Lagi-lagi Piah hanya menatap Edward keheranan. Perusahaan apa, pikirnya. Tak ada satupun perusahaan di Sumbawa. Paling banter juga para peternak madu, itupun tak berskala besar. Piah hanya manggut-manggut dan berjalan dengan cepat, meninggalkan Edward di belakangnya.

@@@

“Piaah… Lihat nilaiku ! Excellent !” Omi bersorak tepat di samping telinga Piah.

“Aduh Omi. Percaya aku kalau kamu memang pintar. Tapi jangan berteriak di kuping. Sakit tahu !” Piah mengusap telinganya yang berdengung. Hari itu mereka pulang dari sekolah dan mendapat ijazah, sesuatu yang begitu ditunggu-tunggu.

“Hahaha, maaf. Aku terlalu senang. Eh, bagaimana ekspedisimu kemarin?” Omi merangkul Piah sambil berusaha melihat nilai di ijazah Piah. Sontak Piah merasa jantungnya berdegub lebih cepat. Ia langsung menepis tangan Omi dari pundaknya.

“Ah, gagal total. Tapi ada hal menarik kemarin. Kau tahu..”

“Miss Piah, right !” Belum sempat Piah melanjutkan kalimatnya, Edward melambai-lambaikan tangan dari kejauhan dan bergegas menghampiri Piah. Langkah kaki Edward menimbulkan suara gemerisik yang kencang, karena ia menginjak rumput yang telah kering.

“Mister Edward ! Apa yang Anda lakukan di sini?” Omi takjub melihat bule yang biasanya hanya ia lihat di buku. Tapi sebenarnya ia tak suka dengan orang barat, dalam pikirannya orang barat adalah orang jahat yang sejak dulu gemar menjajah negeri lain.

“Aku hanya jalan-jalan. Tak terasa sudah sampai di sabana ini. Apa yang kalian bawa?”

“Ijazah, sertificate Sir.” Omi menjawab mendahului Piah.

“I see, kalian sudah lulus Junior High School sekarang. Selamat selamat !” Edward mengangkat tangannya untuk bersalaman, tapi Omi mengacuhkannya. Piah memandang Omi jengkel dan menyambut salam Edward.

“Thanks Mister.” Tangan Piah serasa copot ketika Edward mengguncang tangannya.

“Miss Piah, tahukah kau apa yang kutemukan kemarin di lereng gunung kemarin?” Piah hanya menggeleng. “Batu hijau ! Aku menemukan harta karun itu. Dan kupastikan dengan segera, pulau ini akan makmur seketika.” Piah dan Omi sama terkejutnya. Batu hijau legendaris itu ditemukan oleh seorang bule.

“Oh, benarkah? Kau membawanya sekarang?” Binar harapan mencuat di hati Piah.

“Mengapa harus kubawa, bila nanti aku bisa mendapat berton-ton batu hijau.”

“Apa maksudmu Mister? Berton-ton ? Anda kira mendapat batu hijau mudah?” Piah tak percaya akan kata-kata Edward.

“Dengan teknologi semuanya mungkin nona manis. Tenang saja Miss pasti akan kulibatkan di proses penggalian nantinya.” Edward begitu saja meninggalkan Piah dan Omi yang melongo di bawah pohon Bidara. Mereka saling bertatapan.

“Kamu dengar Omi. Mister Edward menemukan batu hijau. Oh Tuhan, batu hijau memang benar-benar ada !” Piah tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.

“Apa kamu begitu lugu Piah ? Pasti ada maksud tersembunyi di balik semua ini. Tak mungkin orang barat seperti dia melakukan sesuatu tanpa alasan. Apa tadi katanya, pulau ini akan makmur? Cih, pasti itu hanya akal-akalan saja, mana ada kaum imperal memperdulikan nasib orang lain, apalagi penduduk pulau terpencil seperti ini ! Dan perasaanku mengatakan bahwa dia bukan orang baik !” Omi tetap menyimpan rasa tak suka pada Edward, meski ia terkesan dengan keramahannya.

“Sudahlah Omi, kamu hanya iri kan. Apa masalahnya jika dia orang barat. Yang jelas Mister Edward BERHASIL menemukan batu hijau.” Piah sedikit tersinggung dengan prasangka Omi dan kata-katanya yang menyakitkan.

“Terserahlah. Kita tunggu saja apa yang akan dia lakukan di tanah Samawa kita. Teruslah percaya padanya, dan kamu akan menyesal.” Omi mengambil sepedanya sambil terus menggerutu, ia naik dan tak mengajak Piah duduk di belakangnya. Piah makin kesal dengan ulah Omi. Tapi ia hanya menatap Omi dan sepeda tingginya perlahan-lahan menjauh, semakin kabur ditelan angin bercampur pasir.

@@@

Sebuah truk besar bertuliskan Caterpillar 793 menderu-deru. Piah ketakutan melihat truk yang lebih besar dari rumahnya. Rodanya yang kokoh bahkan dua kali tinggi tubuhnya. Tanpa ia sadari, tubunya bergetar. Ajakan Edward untuk bekerja bersamanya ia terima, Piah pun langsung ke gunung, lokasi Edward menemukan batu hijau. Tapi pemandangan di hadapannya sekarang sungguh miris.

“Mereka mengelupasi kulit bumi Mister !” Suara Piah muncul tenggelam di antara suara mesin truk yang bising. Piah melihat gunung dan pohon-pohon di sekitar hutan yang seolah dihempaskan oleh truk itu. Apalagi truk yang beroperasi tak hanya satu, tapi puluhan. Tanah coklat menumpuk di beberapa tempat, sementara di tempat yang lain terdapat cekungan dalam. Sekarang pemandangan di hadapannya terlihat bagai permukaan bulan yang pernah Piah lihat di buku fisika.

“No Piah, mereka tidak mengelupasi kulit bumi. Tapi mereka membongkar harta karun. Emas Piah, gold !” Edward memperhatikan truk-truk itu tanpa berkedip.

“Emas ? Apa maksud semua ini?”

“Batu hijau legendarismu, menyimpan emas dan tembaga. Logam mulia paling dicari di seluruh dunia. Beruntung sekali pulau terpencil ini memiliki cadangan emas luar biasa. Mengerti Miss? Ayo kita naik ke truk, akan kuajari bagaimana cara menggunakannya.” Edward menyeret Piah masuk ke dalam truk.

Pikiran Piah berputar-putar, ia teringat pertemuannya dengan Edward di sabana. Ia teringat akan Lalu Arif yang mengatakan bahwa batu hijau itu mengeluarkan sinar. Juga perkataan Omi, batu hijau itu bersinar kekuningan. Ia teringat akan kata-kata Omi yang tak mempercayai Edward. Dan ia sungguh ingat, beberapa bulan lalu ketika Edward memintanya untuk mengantar ke gunung, pemandangan di hadapannya tak seperti ini. Gunung dan hutan bersanding mesra. Pohon asam dan bidara lebat memayungi hutan, gunung pun terlihat gagah meskipun gersang.

“Mi mister, jadi.. Dimanakah batu hijau itu?” Piah masih gemetar memegang tombol-tombol yang ada dalam truk.

“Sudahlah, itu tak penting. Yang penting kita akan mendulang banyak emas di sini. Wonderfull, right?!” Edward tak mempedulikan Piah yang mematung tak menjawab. Edward terus bersiul senang, sesekali ia melantunkan nyanyian. Suaranya timbul tenggelam bersaing dengan deru mesin besar mengerikan. Tapi Piah bisa menangkap sedikit bait nyanyian Edward. “Glory glory.. I get gold, I get glory, I get gold and I can get everything I want ! Yeah !”

@@@

THE ROAD TO THE EMPIRE, secercah cahaya di tengah denting pedang

the road to the empire

Kekuasaan ibarat pedang bermata dua. Kemakmuran dan kejayaan akan tercapai bila ia digunakan secara arif. Sebaliknya, jika ambisi kejam menunggangi kekuasaan, yang tersisa hanyalah perang dan ketakutan yang tak pernah usai.

Setiap sejarah di belahan bumi manapun pasti memiliki kisah menarik tentang perebutan kekuasaan, termasuk mongol. Pada novel ini Sinta mengangkat sebuah epik tentang Takudar Khan, seorang muslim pewaris sah tahta Mongol yang akhirnya tersingkir karena sebuah konspirasi busuk.

Di awal kisah, suasana Mongol langsung menyambut, terasa begitu nyata, seolah pembaca diajak masuk ke dalam cerita dan ikut menyaksikan bagaimana geografi negeri Jengis Khan itu. Dilengkapi dengan istilah-istilah asing seperti hooves, tolgoin, shanaavch sampai terleg del, aura ‘kemongolan’ makin kuat menguar. Namun jangan khawatir tak mengerti, Sinta sudah menyiapkan catatan kaki di setiap istilah.

Dikisahkan, selepas kudeta terselubung panglima Albuqa Khan yang menewaskan Kaisar Tuqluq Timur Khan dan Permaisuri Ilkhata, Takudar Khan menghilang. Tak bisa dielakkan, Arghun Khan sang pangeran kedua maju sebagai kaisar baru. Arghun dengan ambisi gilanya ingin menguasai dan menyatukan seluruh dunia dalam satu imperium membawa dampak besar. Puncaknya, Arghun menyiapkan pasukan untuk melakukan ekspansi ke barat, tujuan utamanya adalah Jerrusalem. Pasukan Muslim yang selama ini masih bergerak di bawah tanah merasa sekaranglah waktu yang tepat untuk memberi perlawanan.

Tapi Baruji atau Takudar malah dilanda kebimbangan, ia tahu membiarkan Arghun berarti membiarkan pembunuhan massal terhadap kaum muslim dan orang-orang tak berdosa, namun Arghun tetaplah adiknya yang ia sayangi. Ditengah suasana hatinya yang tak menentu, kekuatan umat Muslim mendapat berbagi goncangan. Mulai dari mundurnya salah satu sekutu sampai konflik-konflik internal.

Tokoh lain pun mulai memainkan perannya dengan apik. Buzun, sang pangeran ketiga yang mengabdi di kerajaan, sebenarnya tak suka dengan gaya kepemimpinan Arghun dan mulai mencari Takudar. Tak kalah menarik, wanita-wanita dalam novel ini juga memegang peranan begitu penting, menegaskan pepatah “behind the great men there are great women”. Almamuchi, seorang gadis suku Tar Muleng sekaligus pelayan setia Takudar senantiasa meneguhkan hati tuannya. Urghana, putri tertua Albuqa Khan, begitu membenci ayahnya dan Arghun, namun terpaksa harus merelakan dirinya menjadi tumbal demi keluarganya. Serta Han Shiang, istri kedua Albuqa Khan yang dulunya adalah selir Kaisar Tuqluq Timur Khan, selalu berusaha mendapatkan kekuasaan lebih dengan kelicikannya yang bagai ular berbisa.

Yang paling menarik adalah ketika pecahnya perang antara dua kubu, diceritakan Sinta begitu kolosal. Kekuatan kaum Muslim begitu tak seimbang bila dibandingkan pasukan Mongol. Senjata ampuh yang dimiliki Takudar dan sekutu-sekutunya hanyalah kekuatan iman, kepercayaan, dan ukhuwah islamiyah. Namun, ternyata ketiga hal ini sudah cukup memberi bahan bakar luar biasa bagi perjuangan Takudar. Seakan menjadi semangat yang tak pernah habis bila dibandingkan dengan kekuatan semu pasukan Mongol yang dibangun dari ketakutan tanpa ketulusan. Diibaratkan dengan brillian oleh Sinta, “Arghun membangun suatu kekuasaan yang megah bersepuh emas, tapi berpondasikan pasir”. Hal ini jugalah yang akhirnya menjadi senjata makan tuan bagi Arghun dan Albuqa Khan.

Deskripsi luar biasa dari Sinta Yudisia, serta diksi yang meliuk indah sarat hikmah menjadi daya tarik tersendiri, membuat saya rela bergadang untuk menyelesaikan novel setebal 500 halaman lebih ini. Berbagi untaian mutiara pelajaran hidup dan filosofi-filosofi agung menghiasi setiap lembarnya, banyak sekali yang bisa dipetik.
Alur yang disajikan lincah melompat-lompat dari satu tokoh ke tokoh lain, tanpa kehilangan benang merah. Hal ini pula yang membuat penokohan semakin kuat. Nama-nama tokoh yang mungkin kurang familiar dan susah diingat terobati sudah. Setiap karakter memiliki andil dalam membangun kesatuan cerita yang utuh.
Tampilan buku yang dikemas menarik, cover yang elegan serta ukuran huruf yang masih bisa dinikmati tanpa harus memicingkan mata, menambah nilai plus novel ini.

Pantaslah jika The Road to The Empire mendapat award sebagai buku fiksi terbaik di Islamic Book Fair 2009 baru-baru ini. Bravo !

POLITIK

jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

KETIKA TUHAN MENCIPTAKAN PARA IBU

Photobucket


Ketika itu, Tuhan telah bekerja enam hari lamanya. Kini giliran diciptakan para ibu. Seorang malaikat menghampiri Tuhan dan berkata lembut : “Tuhan, banyak nian waktu yang Tuhan habiskan untuk menciptakan ibu
ini?” Dan Tuhan menjawab pelan: “Tidakkah kau lihat perincian yang harus
dikerjakan?

01) Ibu ini harus waterproof (tahan air/cuci)tapi bukan dari plastik.

02) Harus terdiri dari 180 bagian yang lentur, lemas dan tidak cepat capai.

03) Ia harus bisa hidup dari sedikit teh kental dan makanan seadanya.

04) Memiliki kuping yang lebar untuk menampung keluhan

05) Memiliki ciuman yang dapat menyembuhkan kaki yang keseleo

06) Lidah yang manis untuk merekatkan hati yang patah, dan

07) enam pasang tangan!!


Malaikat itu menggeleng-gelengkan kepalanya: Enam pasang tangan….? ck
ck ck — “Tentu saja! Bukan tangan yang merepotkan Saya, melainkan tangan
 yang melayani sana sini, mengatur segalanya menjadi lebih baik….”
balas Tuhan.

Continue reading

LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA, aslikah yang kita tahu ?

Kita selalu mendengarkan lagu kebangsaan kita setiap Senin, atau pada event-event tertentu. Tapi,,, apa benar lagu yang berjudul INDONESIA RAYA karya WR Supratman itu asli? Tak digubah atau dipendekkan?

Jawabannya :  tidak. Lagu yang kita tahu saat ini hanyalah sepenggal bait dari ciptaannya yang asli. Padahal bait-bait selanjutnya mengandung makna luar biasa dalam. Doa yang benar-benar pas untuk negeri kita tercinta.

INDONESIA RAYA

Indonesia tanah airkoe
Tanah toempah darahkoe
Disanalah akoe berdiri
Djadi pandoe ibukoe

Indonesia kebangsaankoe
Bangsa dan tanah airkoe
Marilah kita berseroe
Indonesia bersatoe
Hidoeplah tanahkoe
Hidoeplah negrikoe

Bangsakoe rak’jatkoe sem’wanja
Bangoenlah djiwanja
bangoenlah badannja
Oentoek Indonesia Raja

Reff:
Indonesia Raya merdeka merdeka
Tanahkoe negrikoe jang kutjintai
Indonesia Raja merdeka merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja
Indonesia tanah jang moelia
Tanah kita jang kaja
Disanalah akoe berdiri
Oentoek slama-lamanja
Indonesia tanah poesaka
P’saka kita semuanja

Marilah mendo’a Indonesia
Ia bahagia
Soeboerlah tanahnja
Soeboerlah jiwanja
Bangsanya ra’jatnja sem’wanya
Sadarlah hatinja
Sadarlah boedinja
Oentoek Indonesia Raja

Reff:
(1x) Indonesia tanah soetji
Tanah kita sakti
Disanalah akoe berdiri
‘Njaga Iboe sedjati

Indonesia tanah berseri
Tanah yang akoe sajangi
Marilah kita berdjanji
Indonesia abadi
S’lamatlah ra’jatnja
S’lamatlah poetranja
poelaoenya sem’wanja
Madjoelah negrinja
Madjoelah pandoenya
Oentoek Indonesia Raja

(Reff (2 x).

 

AYO NYANYI !! ^^

SAYA BELAJAR

   Saya belajar . . . . . . .

   Bahwa saya tidak dapat memaksa orang lain untuk  mencintai saya

   Saya hanya dapat melakukan sesuatu untuk orang  yang saya cintai

  

   Saya belajar . . . . . . .

   Bahwa butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan

   Dan hanya beberapa detik saja untuk  menghancurkannya

Continue reading

HEBATNYA KEBOHONGAN

Jangan remehkan kebohongan.
Kekuatannya mampu meruntuhkan sebuah negara.
Kekuatannya pula banyak dipakai oleh raja-raja untuk tetap berada di atas tahta.
Maka, adalah naif, jika anda berkata, berbohong hanya dilakukan oleh anak-anak yang tertangkap basah membolos sekolah.
 
Berbohong adalah kekuatan besar, karena untuk berbohong manusia harus berkekuatan besar pula.
Diperlukan kecerdasan tinggi untuk menyusun ribuan argumentasi.
Dibutuhkan kekerasan otot baja untukmengubah fakta dan data nyata.
Bahkan, manusia harus memicikkan hatinya agar sebuah kebohongan menampakkan wajah kebenaran.

Lihatlah, untuk sebuah kebohongan manusia harus mengerahkan waktu dan usaha yang terbaik pula!
Sedangkan untuk bersikap jujur, manusia hanya perlu berlaku apa adanya.
Karena itu, jangan terkejut bila banyak orang melihat kebohongan lebih menawan daripada cahaya kejujuran.
Di dalam belitan hawa nafsu, kejujuran nyaris tak pernah laku.

A LETTER FROM GOD

 Saat kau bangun dipagi hari, Aku memandangmu dan berharap engkau akan berbicara kepadaKu, walaupun hanya sepatah kata, meminta pendapatKu atau bersyukurkepadaKu atas sesuatu hal indah yang terjadi didalam hidupmu
kemarin, tetapi Aku melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.

Continue reading

FIVE SIMPLE RULES TO BE HAPPY.

Remember the five simple rules to be happy:
Ingatlah lima peraturan sederhana ini untuk hidup bahagia.

Continue reading