Senja menyapu langit menjadi merah saga. Langkah Sri terhenti sejenak di tengah gerbong kereta api paling belakang. Ia menatap sawah hijau yang terbentang luas di balik jendela kereta ekonomi yang buram, matahari mulai merayap turun, kelam malam perlahan merambat menggantikan warna merah menjadi hitam. Kombinasi warna merah hitam di kala senja selalu berhasil menambat kaki Sri untuk melihat keluar. Ia seolah tak mempedulikan orang yang lalu lalang di sampingnya, yang terkadang mendesaknya kesamping kiri atau kanan. Senja hari, adalah menit-menit khusus bagi Sri untuk sejenak melepas benaknya dari realita.
“Mbak, mbak. Kopinya satu !” Teriakan seorang laki-laki membuyarkan lamunan Sri. Ia bergegas menuju laki-laki yang memanggilnya, menurunkan barang-barang dagangan, dan dengan cekatan menyajikan kopi di sebuah gelas plastik. Asap kopi mengepul mengeluarkan aroma sedap yang khas. Sri memberikan gelas itu sambil tersenyum.
“Ini Pak, kaleh ewu .”
“Oalah, ayu tenan mbak’e.” Laki-laki pembeli kopi malah menggoda Sri. Paras Sri memang cantik meski usianya tak lagi hijau. Ia bahkan sudah memiliki dua anak. Kerutan dan berbagai gores kehidupan di wajahnya tetap menyisakan kecantikan yang tak bisa disembunyikan.
“Nuwun sewu, kaleh ewu Pak.” Sri bergeming, senyum hilang dari wajahnya. Ia langsung memasang wajah sedingin baja. Sri paling tidak suka menerima perlakuan seperti ini, meski ia tahu, resiko pedagang asongan wanita kereta seperti dirinya adalah digoda laki-laki genit. Ia dan teman- teman pedagang wanita lainnya sudah sering mengalami hal seperti ini. Tapi Sri tidak bisa melihat pilihan dalam hidupnya, kesempatan untuk pekerjaan lain rasanya mustahil. Dengan uang tabungan yang sebentar lagi akan habis untuk biaya sekolah anak-anak, ia bahkan tak berani sekedar memikirkan mencari pekerjaan yang lebih layak. Mencari pekerjaan berarti menunda rejeki , itulah rumus yang diyakini Sri.
“Eh, mutung. Ayu ayu kok cugetan . Ini uangnya.” Laki-laki itu menangkap jelas perubahan raut wajah Sri dan segera membayar dengan kasar. Sri mengucapkan terimakasih sekenanya dan bergegas pergi. Penumpang lain yang sekursi dengan laki-laki itu hanya memperhatikan dalam diam.
Sri segera menjajakan dagangannya, ia kembali berteriak dengan irama yang klise, berulang dan berulang sepanjang langkah kakinya. Sesekali pendengaran Sri menangkap penumpang yang menirukan gaya teriakannya sambil terkikik. Apa yang lucu ? Pikir Sri kesal, mereka sama sekali tak tahu lelahnya berteriak seperti ini ! Lelah yang terakumulasi, membuat Sri makin sensitif. Cairan terasa menggenang di pelupuk mata, kabur. Sri mengusap matanya dengan cepat dan meninggalkan gerbong sambil tetap berteriak.
“Kopi, kopi, kopi anget… Pop Mie, Energen, anget…” Suara Sri yang mulai parau tertelan suara gemuruh kereta dan suara penjual asongan lain.
***
“Mak, aku mau mobil-mobilan kayak punya Sapto !” Slamet, anak kedua Sri menjerit histeris ketika mereka melewati toko mainan. Sri tersentak kaget mendengar teriakan anaknya. Tak biasanya Slamet minta barang yang aneh-aneh.
“Le, emak lagi ndak punya uang. Kan kemarin sudah buat beli buku sama kaos olahraga. Mbakyumu juga lagi butuh uang buat buku juga.” Sri buru-buru menyeret Slamet pergi menjauh dari toko mainan.
“Pokoknya mau mobil-mobilan. Emaak… Huhu.” Sapto mulai menangis meraung-raung. Badannya yang kecil berusaha menahan seretan tangan emaknya. Sri agak kebingungan melihat tingkah Slamet. Akhirnya ia menggendong paksa Slamet.
Langkah Sri sepanjang perjalanan dari pasar tertatih karena belanjaan yang dibawanya dan Slamet digendongannya. Hari itu ia harus belanja kebutuhan jualan lebih banyak, musim liburan tiba, pasti kereta api ekonomi makin berjubel penumpang. Dan itu berarti berkah bagi pedagang asongan seperti Sri. Lalu lalang becak dan sepeda motor menemani Sri. Sesekali angkot berwarna colat lewat sambil mengepulkan asap hitam yang membuat Sri dan Slamet terbatuk-batuk. Slamet masih merengek di gendongan Sri. Sri berusaha menulikan telinga, ibu mana yang tak teriris hatinya jika tidak bisa memenuhi kebutuhan anaknya.
“Emak sudah datang.” Dengan sigap Ian, anak pertama Sri, membantu ibunya membawa belanjaan. “Ian sudah masak sayur bayam Mak, bayam belakang rumah makin subur saja.” Ian mengeluarkan barang belanjaan Sri dan menatanya di meja.
“Kamu sudah makan?” Sri bertanya dengan lembut. Ian sekarang masih kelas satu SMP, tapi perkataan dan tingkah lakunya jauh melampaui usianya.
“Aku menunggu emak dan Slamet pulang. Ndak enak makan sendirian.”
“Oh, ya sudah. Sekarang kita makan dulu. Slamet, ayo makan. Masakan mbakyumu ni. Pasti enak.” Rengekan Slamet terhenti dengan ritual makan bersama. Mereka bertiga makan di meja, yang merupakan meja satu-satunya di rumah itu, di antara tumpukan barang-barang dagangan Sri. Suara sendok dan piring beradu berdenting memenuhi rumah sederhana keluarga Sri yang sebagian besar dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Setelah semua selesai makan, Sri merapikan perabot makan dan menuju dapur, ia melakukan dengan cepat agar pekerjaan itu tidak iambil oleh Ian. Sri terkadang tak tega melihat anaknya yang satu itu, tiap hari bergulat dengan pekerjaan rumah, apalagi ketika Sri berjualan di kereta dari siang sampai malam. Tiap pulang sekolah Ian pasti akan disibukkan dengan setumpuk pekerjaan dan juga mengasuh Slamet. Meski tak pernah mengeluh, Sri tetap saja sering merasa bersalah. “Sudah Yan, emak saja yang mencuci piring. Itu di kresek hitam ada klepon. Makan sama Slamet gih.”
“Terimakasih Mak.” Binar mata Ian terpancar, sedangkan Slamet langsung mencari jajanan pasar kesukaannya ketika Sri menyebutkan ia boleh makan bersama kakaknya.
“Asiik. Klepon !!” Slamet melahap bola-bola hijau bertabur kelapa dengan rakus. Ian melihat tingkah polah adiknya sambil geleng-geleng kepala. Ia menggigit klepon sedikit demi sedikit, gula aren di tengah kelepon meluber keluar, lelehan itu segera disesap oleh Ian.
“Mbak, kenapa sih ibu jadi tukang asongan?” Slamet tiba-tiba melontarkan pertanyaan di tengah keasyikannya. Ian tersentak dengan pertanyaan itu, mengapa Slamet ingin tahu.
“Kan biar kita bisa sekolah, makan tiap hari, dan makan klepon kesukaanmu.” Ian berusaha menjawab.
“Beli mainan ndak termasuk ya?” Slamet cemberut, ingat mobil-mobilan yang tak bisa terbeli.
“Eh? Kalau ada rejeki lebih ya dibelikan Met. Kenapa Tanya-tanya begitu?”
“Slamet malu Mbak, si Sugeng sama temen-temennya suka ngejek. Slamet anak tukang asongan gak bisa beli mobil-mobilan. Ya sudah, Sugeng tak pukul aja kemarin.” Ekspresi Slamet langsung muram, klepon di hadapannya sudah habis, menyisakan sisa gula dan kelapa di sekitar mulutnya yang tertekuk. Ingatan Ian langsung melompat, baju Slamet memang sangat kotor kemarin, ternyata ia bergulat dengan temannya.
“Walah Slamet, begitu aja kok malu. Meskipun emak jadi pedagang asongan, ngejar-ngejar kereta, tapi itu halal. Daripada emak mencuri. Hayoo.. Lagian kalau emak ndak ngasong, memang kamu bisa makan klepon? Apapun pekerjaan emak, emak adalah bidadari yang selalu menjaga kita Slamet.” Ian mencubit pipi Slamet yang gembil.
“Tapi tetep aja mbak. Slamet kan malu tiap hari diejek. Teman-teman sekelas juga mulai ikut-ikutan Sugeng.” Hati Ian berdesir, ia juga pernah diejek seperti Slamet. Bahkan ketika ayahnya minggat, Ian menjadi bahan ejekan paling empuk di antara teman-temannya. Memang seiring berjalannya waktu, para pengejek itu pasti lelah, tapi melewati hari-hari berat penuh tekanan memang tak mudah, apalagi bagi Slamet yang masih sangat kecil.
Sementara itu, Sri sedang mengusap air matanya dengan jilbab yang masih dipakai dari pasar tadi. Ia tak sengaja mendengar percakapan kedua anaknya. Hatinya bagai diaduk-aduk, ia memegangi dadanya yang mendadak terasa sangat sakit. Perasaan bersalah merayapi seluruh tubuhnya. Karena dirinya Slamet menjadi bahan ejekan temannya. Karena dirinya tak becus mencari pekerjaan lain Slamet tidak bisa beli mobil-mobilan. Karena dirinya anak-anaknya harus hidup dalam kehidupan yang sulit. Isakan Sri tertahan, teredam gemericik air sumur yang ia tuang ke ember.
***
“Tak lelo..lelo ledung… Ndang bobo anakku sing ayu. Besok gedhe dadio wanita utama. Banggakne wong tuwa ..” Sayup-sayup senandung Sri terdengar di balik bilik kamar. Ia sedang membelai Ian dengan sepenuh hati dan menyenyikan tembang yang biasa dinyanyikan ibunya ketika Sri masih kecil. Slamet telah tidur sejak tadi, mendengkur dengan keras di samping Ian.
“Hoaahm.. Mak, aku sangat suka nyanyian emak yang satu ini.” Setengah tersadar Ian bergumam pada Sri. “Aku selalu merasa didoakan sepenuh hati ketika Emak menyanyikan tembang ini. Esok, ketika aku sudah besar, aku harus jadi wanita utama, wanita yang bisa membanggakan Emak.”
“Iya Nduk, sekolah yang pintar, biar ndak jadi pedagang asongan kayak Emak. Nanti kalau sudah jadi orang, jangan lupa sama orang-orang susah. Jadi orang yang pemurah, nolong orang lain, meski kamu lagi butuh. Siapa tahu Allah bukakan pintu rejeki dari amal amal itu.” Air mata menggenang kembali di mata Sri. Ia sungguh-sungguh berharap anaknya dapat sukses kelak. Doa ini pula yang tak pernah luput dari shalatnya.
“Nggih Mak.” Ian terbuai dengan belaian dan nyanyian emaknya. Ia terlelap sambil tersenyum. Meski menjalani hidup seadanya, Ian bersyukur sangat memiliki emak yang selalu mendoakan dan menasihatinya. Ia merasa belaian emaknya bagaikan belaian bidadari yang menguatkan hatinya.
***
Pengap, panas, gerah. Suasana kereta api ekonomi siang itu bagaikan oven raksasa yang berisikan makhluk hidup, mulai manusia sampai hewan macam ayam. Berbagai macam bau menyeruak bersamaan, bercampur, menimbulkan harmoni yang memuakkan. Kolong kereta juga tak ketinggalan, banyak barang, banyak orang juga. Sri hanya menghela nafas setelah berhasil masuk gerbong kereta dengan susah payah. Ia mulai berjalan berjingkat-jingkat menghindari penumpang yang ada di tengah jalan atau jika ada pedagang asongan lain dari arah berlawanan. Hari itu ia membawa es untuk dijual, mumpung ramai, panas pula.
“Es manis, es manis, cuma seribu rupiah. Seger buat panas-panas begini.” Sri kembali berteriak penuh semangat menjajakan dagangannya. Hari itu dagangannya lumayan laku meski tak juga terlalu banyak. Di gerbong paling depan, Sri sejenak duduk jongkok sebelum keluar kereta api untuk turun di stasiun Pekalongan. Ia menoleh ke samping dan melihat seorang anak lelaki berkaos kumal dan membawa setumpuk Koran bekas, hmm ia mungkin lebih tua sedikit dari Ian, pikir Sri.
“Laku banyak Le hari ini?” Sri memulai percakapan. Anak itu hanya menggeleng lemah. Wajahnya kuyu dan terlihat begitu lelah. Kulit legam dan rambut jagungnya menambah kesan menyedihkan.
“Sudah makan siang?” Anak itu kembali menggeleng lemah.
“Ndak ada duit Buk. Dari pagi saya belum makan. Makannya sekarang lemes banget, rasanya saya sudah ndak kuat berdiri ini.” Suara lirih anak lelaki di sampingnya begitu lirih. Sri harus mendekatkan kepalanya untuk dapat mendengar ucapan anak itu.
“Wah wah, gimana kamu ini, jualan kan butuh tenaga. Ini minum es dulu, gratis.” Sri menyodorkan seplastik es jeruk, warnanya kuning menggoda dan butiran air embun di plastiknya menyejukkan pandangan. Anak itu menerima dengan tangan gemetar. Sri kemudian membelikan Megono, irisan nangka muda dengan bumbu sambal kelapa. Rasanya gurih dan pedas, biasanya dibungkus daun pisang untuk menambah kesedapan aroma.
“Ini Le, makan dulu biar kuat jualan lagi.”
“Ya Allah, terimakasih Buk. Maturnuwun sanget .” Mata anak itu berkaca-kaca. Pertolongan sederhana bahkan bisa membuat anak penjual koran bekas ini begitu berterimakasih, pikir Sri. Sri hanya tersenyum dan beranjak bangkit. Kereta telah berhenti, saatnya ia harus turun dan segera pulang.
Desakan orang yang akan turun membuat Sri sesak napas, ia mati-matian menjaga keseimbangan, Sri mendekap erat barang-barang dagangan yang masih tersisa. Setelah berhasil keluar, ia berjalan dengan cepat. Mobil-mobilan yang diinginkan Slamet terngiang-ngiang di benaknya. Sri ingin membelikan mainan itu untuk Slamet.
Di tengah kerumunan padatnya orang, Sri mendengar suara bass laki-laki yang menyiratkan kebencian. Mula-mula samar-samar, tapi makin lama makin jelas.
“Heh, kamu istrinya Joko kan?” Telinga Sri bagai disengat listrik, sudah bertahun-tahun ia tidak mendengar nama itu disebut, nama suaminya yang telah meninggalkan Sri ketika ia melahirkan Slamet. Hatinya pedih bila mengingat Joko.
“Heh, ditanya kok malah diam. Jawab !” Sri baru tersadar, sekelompok laki-laki bertato dan berambut gondrong menghadang jalannya. Tiba-tiba mereka mendorong Sri ke pojok stasiun yang sepi. Sri yang tak siap melakukan perlawanan hanya bisa meronta-ronta tanpa arti, sekelompok laki-laki itu melakukan aksinya dengan sangat cepat. Orang-orang di sekitar Sri hanya melihat sebentar dan langsung memalingkan muka. Entah tak peduli, atau takut dengan gaya gerombolan laki-laki bertampang sangar itu.
“Joko berhutang banyak pada kita. Si brengsek itu dulu kalah judi dan malah kabur. Kita sudah mencari-cari ia sejak lama.” Salah seorang laki-laki yang berwajah paling sangar menatap Sri lekat-lekat, sementara teman-temannya mengunci gerakan Sri. Barang dagangan Sri sudah berhamburan di lantai.
“Lalu apa hubungannya dengan saya? Ia juga meninggalkan keluarganya sejak bertahun-tahun yang lalu juga. Saya sudah ndak ada lagi hubungan dengan mas Joko.” Sri menjerit.
“Tapi, beberapa waktu lalu, anak buahku tak sengaja menemukan Joko, ia jadi gembel di Jakarta sekarang…” Sri terkejut mendengar ucapan laki-laki sangar itu. “Dan ia menyuruh kami mencari KAMU, istrinya, buat bayar uatng-utangnya.” Sri makin terkejut sekarang. Tega sekali mas Joko, batinnya.
“Mas Joko ndak mengatakan apa-apa padaku, bahkan ketika ia minggat, ia ndak memberiku sepeser pun. Kalian tidak bisa menyuruhku membayar utang mas Joko.” Sri histeris ketika laki-laki itu mulai menggeledah barang-barangnya dan merampas hasil jualan seharian. Sri tidak bisa membayangkan hidupnya esok jika uang itu iambil, darimana ia mendapat modal untuk jualan besok. Utangnya juga sudah menumpuk dimana-mana.
“Ini, kami ambil. Anggap urusan kita sudah berakhir, meskipun uang ini belum cukup membayar seluruh utang Joko. Itu salahmu sendiri, cari suami saja tak becus, mau-maunya menikah dengan orang pengecut seperti Joko ! Haha..” Laki-laki paling sangar memberi kode pada anak buahnya untuk melepas Sri. Mereka langsung lari berkelebat secepat kilat. Meninggalkan Sri dengan dagangan berantakan, hati yang hancur, serta tak ada uang sama sekali.
Sri kembali memegangi dadanya yang mendadak begitu nyeri. Luka lama yang dulu berusaha ditutupnya, kini sobek kembali dan berasa ditaburi garam. Ia menatap dagangannya dengan nanar. Bayangan mobil-mobilan untuk Slamet buyar di benaknya. Sri menguatkan dirinya dan berusaha merapikan dagangan yang masih bisa diselamatkan. Terngiang-ngiang perkataan pak Haji Abdullah ketika Sri kecil rajin ikut TPA, sesungguhnya setelah kesulitan pasti ada kemudahan, setelah kesulitan ada kemudahan.
***
Senja merah kembali menambat perhatian Sri, ia termangu di kursi kereta api, masih kereta ekonomi, tapi kini ia adalah penumpang, bukan lagi pengejar kereta seperti dulu. Di sampingnya terlihat Ian dan Slamet yang terlelap. Semilir angin sore yang sejuk menerpa wajah Sri, Sri memejamkan mata. Bayangan episode masa lalu terbawa kembali ke alam sadarnya.
“Ibuk. Ibuk yang memberi makan saya di kereta kan?” Seorang anak laki-laki yang tampak familiar bagi Sri menegurnya ketika ia duduk di samping trotoar. Sejak kejaian perampokan di stasiun, Sri beralih profesi menjadi penyapu jalanan. Hidupnya dan keluarga semakin berat selama beberapa tahun ini. Penyapu jalanan bukanlah pekerjaan yang lebih baik dari pedagang asongan. Apalagi dengan resiko tertabrak kendaraan bemotor.
“Eh, siapa ya?” Sri berusaha mencari sosok anak itu di ingatannya. Dan ia berhasil menemukan memori episodik tentang anak itu. “Loh, kamu penjual koran bekas kan?” Sri terheran-heran, kini anak itu tampak gagah dengan baju batiknya yang rapi. Badannya makin berisi dan terlihat sangat terurus. Sangat kontras dengan penampilannya ketika di kereta.
“Iya Buk, Alhamdulillah saya dapat rejeki dari Allah. Ada LSM yang mengajak anak-anak jalanan seperti saya. Mereka memberi berbagai ketrampilan sekaligus modal awal. Sekarang usaha saya sudah mandiri dan berkembang. Tapi tanpa Ibuk, saya pasti sudah putus asa ketika di kereta dulu. Haha, saya sempat berpikir terjun dari kereta biar modar sekalian Buk.” Anak laki-laki itu tergelak dan ikut duduk di samping Sri.
“Oooh, Allah memang Maha Kaya Le. Syukurlah kalau kamu sekarang sudah berhasil. Ibuk sekarang ya begini ini, malah jadi tukang sapu.” Sri mentertawakan dirinya sendiri.
“Sudah Buk, sekarang ikut saya saja. Kebetulan saya lagi butuh pegawai buat menjahit. Ibuk bisa menjahit kan? Setelah ini saya antar ke tempat usaha saya.”
“Ee, bisa sih sedikit-sedikit.” Sri tergagap, apa ini berkah dari Allah. Jawaban dari untaian doa-doanya sepanjang malam.
“Mari Buk.” Bayangan anak laki-laki yang akhirnya memboncengnya dan menjadikan hidupnya lebih baik perlahan memudar. Tergantikan kembali dengan pemandangan hijau kemerahan di luar jendela kereta. Matahari memerah seperti darah, besar bulat tanpa ada penghalang. Sri bersenandung lembut, “Tak lelo..lelo ledung… Ndang bobo anakku sing ayu. Besok gedhe dadio wanita utama. Banggakne wong tuwa..”
Filed under: Uncategorized | Leave a comment »